Kamis, 02 Februari 2012

Madoka, Ryo, Tommi, dan peserta Field Trip lainnya...

Saya hampir lupa, kalau saya memiliki blog seperti ini. Sejak pindah dari Sastra Jepang, saya sudah jarang membagi kisah tentang orang asing. Tentu saja, karena setelah di Sastra Daerah saya hanya berhubungan dengan orang-orang lokal, Bugis dan Makassar. Tapi ada satu hal yang harus tetap dilanjutkan, di manapun saya berada, blog ini salah satunya. Saya harus tetap menulis, mencatat sejarah dan kisahku sendiri. Toh saya juga sering menjumpai orang-orang asing. Dengan begitu, saya memiliki rekaman, jika suatu saat saya mendadak amnesia, hahaha…

Kali ini saya akan bercerita tentang Madoka chan. Seorang teman yang ikut dalam Field Trip Bali-Toraja-Barrang Lompo tahun 2008 saat bulan puasa. Saya sangat beruntung diajak oleh Anna menemani tiga puluh mahasiswa Jepang dari dua universitas, yakni Seisen University dan Nagoya City University. Selain saya, ada tiga orang seniorku di Sastra Jepang yang juga diikutkan. Meraka adalah Akmal, Aan, dan Yusran. Field trip ini sengaja memilih tiga lokasi tersebut, agar bisa mewakili lingkungan tiga agama besar di Indonesia, Hindu-Kristen-Islam. Saya sekali saya baru diikutkan di lokasi kedua, hehehe (mau ke Bali, gratisan ceritanya). Pertimbangan Anna memilih saya sebagai asistennya karena saat itu saya masih mahasiswi Sastra Jepang, dan orang tua saya yang bermukim di Toraja. Paling tidak, saya memiliki pengalaman ke Toraja.

Di Toraja, tempat kami di Kecamatan Batutumonga. Sebuah kampung yang berada di wilayah Toraja Utara. Saya bersama tiga peserta tinggal di rumah Mama Elizabet. Rumahnya di bagian atas bukit, yang membuat seru karena Mama Elizabet memiliki rumah Tongkonan pas di sebelah rumahnya, sehingga malam kedua kami menginap di sana. Itu pengalaman pertamaku tidur di rumah Tongkonan. Kami bermalam selama tiga malam, di hari kedua kami menyaksikan acara Ma’pengucapan. Sebuah ritual ucapan syukur atas keberhasilan panen para petani setempat. Kami masuk ke gereja, menyaksikan anak-anak kebaktian dan berdoa. Saya juga ikut menyanyi tapi membaca teks yang disediakan, hehehe. Selain itu ada acara Ma’sempa, ritual saling menendang beramai-ramai, guna mengeluarkan dara kotor dan menyalurkan emosi, agar setelah itu masyarakat bias hidup tentram dan damai. Itu kali pertama saya menyaksikan acara Ma’sempa, cukup mengerikan, sebab tiap dusun mengutus para pemudanya yang kemudian membentuk pasangan-pasangan agar tangannya bias diikat dengan sarung sehingga tak terjadi kecurangan.

Setelah Toraja, saya menemani peserta Field Trip ke pulau Barrang Lompo. Selama perjalanan, saya sangat akrab dengan Madoka, Ryo, dan Tommy. Sampai kini kami masih sering berkirim kabar lewat surat elektronik. Terutama dengan Madoka dan Ryo. Keduanya sudah selesai kuliah, Madoka kerja dan Ryo melanjutkan kuliah S2. Kabar terakhir yang kudapat, bahwa Madoka sekarang sudah memiliki pacar orang Yogya, hahhay. Saat sama-sama di Toraja, dia memang pernah mengungkapkan bahwa dia sangat senang ke Indonesia, dia sangat suka makan nasi goreng. Dan memang berniat memiliki pacar orang Indonesia. Akhirnya keinginannya terkabul. Hmmm kapan yah, saya bias ketemu mereka lagi?

Label:

Kamis, 15 Mei 2008

Hosono Sensei ala Soekarno

Jika anda sering nongkrong di Fakultas Sastra UNHAS, kecil kemungkinan anda tidak pernah melihat sosok pria yang mulai tua, didukung dengan rambutnya yang sudah putih keseluruhan namun ditutupi dengan peci hitam ala Soekarno, berjalan tegap sambil membawa tas ransel, memakai celana kain hitam, kemeja berlengan pendek, dan tak ketinggalan kacamata bulatnya yang besar . Tak jarang dia berjalan di wilayah kampus Sastra ditemani dengan seorang wanita berjilbab memakai kacamata, postur tubuhnya agak gemuk, tidak tinggi, dan keduanya bercakap sambil berjalan menggunakan bahasa Jepang. Bahkan bukan hanya mahasiswa fakultas Sastra yang pernah melihatnya, sebab pernah teman saya seorang mahasiswa fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pernah melihatnya dan bertanya bahwa apakah ada dosen saya yang bercirikan seperti di atas, saya jawab ya, tidak salah lagi, dia adalah Hosono Makoto Sensei, seorang dosen asli Jepang dan wanita itu adalah Imelda Sensei dosen asli Indonesia.

Kami mahasiswa sastra Jepang UNHAS sering memanggilnya Hosono Sensei. Kami pertama kali bertemu denannya pada saat pertemuan mata kuliah Bunpoo (baca:Bumpoo) yaitu Tata Bahasa Jepang di semester dua hari pertama, tanggal 4 januari 2008. Saat itu kami sangat senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan dosen dari negeri Sakura, walaupun sebenarnya sudah pernah ada beberapa dosen dari Jepang yang menjadi relawan mengajar di jurusan kami, namun tidak sempat mengajar kami dari angkatan 2007.

Hampir di semua mata kuliah jurusan ia masuk membantu dosen kami memberi materi, kecuali mata kuliah Kejepangan. Karena jadwalnya sangat padat. Hosono Sensei belum bisa berbahasa Indonesia, sehingga saat ia memberikan kami pengarahan ia tetap menggunakan bahasa Jepangnya kemudian akan diterjemahkan oleh dosen yang ia temani. Namun ia juga sering memakai bahasa Inggris, karena ia menguasai dua bahasa Asing yaitu bahasa Inggris dan bahasa Prancis.

Hosono Sensei sendiri bertempat tinggal di Tokyo,Jepang sedangkan di Makassar ia tinggal di Hotel Banua jalan Haji Bau. Ia memiliki seorang anak gadis, saat ini tinggal di Amerika sebagai seorang desainer. Usia Hosono sensei 69 tahun, namun caranya berjalan masih tegap dan lincah. Ia memiliki empat saudara, semuanya berprofesi sama yaitu sebagai pengajar, sehingga pengalamannya sebagai tenaga pengajar tidak diragukan lagi.

Rasa senang kami tidak berlangsung lama saat diajar oleh dosen Nihonjin itu. Semenjak ia datang banyak perubahan dalam kelas kami. Sebenarnya hal itu adalah demi kebaikan kami, tapi kami hanya bisa mengambil sedikit dari kebaikan itu. Ia sangat tegas, disiplin, dan rajin. Dalam kelas kami harus duduk tegap, kaki tidak boleh menggantung, tangan kanan memegang pulpen, sedangkan tangan kiri di atas paha, atau bergantung, persis posisi duduk siap ala Pramuka. Hal itu membuat kami tidak nyaman, malah membuat punggung kami kesakitan. Ketika ia berbicara, tak satupun mata boleh melihat ke arah lain selain matanya. Hal itu tidak hanya berlaku untuk kami, dosen yang menemaninya pun harus memberi materi dengan tegap dan tegas. Ia selalu berjalan mengelilingi kami di kelas, sehingga kami harus selalu waspada ketika ia berjalan ke arah kami, maka kami akan saling menegur sebelum dia melihat posisi duduk kami yang tidak sesuai dengan keinginannya, karena akan berakibat fatal jika hal itu sampai terjadi, ia akan marah dan waktunya tidak satu atau dua menit tapi lima menit ke atas. Suasana kelas yang dulunya santai dan menyenangkan, kini menjadi, menegangkan bagi kami, namun dosen kami selau menghibur kami dengan mengatakan bahwa jangan terlalu dipikirkan, terima saja dan hargai sikap beliau, memang begitu karakter orang Jepang, nanti kami juga akan terbiasa.

Walaupun begitu, Hosono sensei bukan hanya merubah pola kebiasaan dalam kelas, tapi sistem belajar mengajar kami pun ikut berubah, pelajaran yang diberikan selalu diulang-ulang dan tak akan berpindah ke materi berikutnya sebelum kami menguasainya, tidak seperti dulu sebelum ia datang, dosen terlalu cepat membahas materi dan terlalu cepat pula pindah ke materi beikutnya. Hal ini yang membuat kami mulai kembali menyenanginya, terkadang ia menyanyikan kami lagu-lagu Jepang yang ada kaitannya dengan materi saat itu. Kelas seolah berubah menjadi kelas vokal.

Tak ada alasan untuk tidak menyukai Hosono sensei , kami bahkan kasihan dan sadar bahwa kami yang salah. Kami yang terlalu santai dan masih membawa karakter SMA kami di bangku kuliah. Pernah ia marah-marah dan berlangsung agak lama, ketika mata kuliah kanji tanggal 18 februari 2008, kami datang terlambat setelah itu Hososno sensei mendapati kami sedang asyik ngobrol ketika pelajaran berlangsung. Kami melihat kekecewaan di matanya, seperti ingin menangis. Kami serentak diam, malu telah memperlakukannya dengan tidak baik. Semestinya kami berterima kasih pada dia, jauh-jauh datang ke Indonesia dengan gaji yang sebatas tunjangan hidup selama di Makasaar, kami lantas tidak mendengarkan kata-kata dan perintahnya. Setelah itu kami diperintahkan oleh dosen mata kuliah kanji, Rudi Sensei berdiri lalu meminta maaf, tentunya dengan cara membungkukkan badan ala Jepang, Gomennasai Sensei. Ia pun membalas dengan membungkukkan badan sambil tersenyum. Itu adalah terakhir kalinya ia marah di kelas kami, karena setelah peristiwa itu kami sepakat untuk tidak mengulanginya lagi.

Itulah Hosono Sensei, di mataku ia benar-benar perwakilan Bangsa Jepang yang menjunjung tinggi tata karma bangsanya, sangat sopan dan ramah. Ia sering memberikan kami penghargaan lewat pujiannya, bahkan pernah ia memberikan kami hadiah berupa origami bangau kecil yang dirangakai dengan benang panjang, ketika mata kuliah Kaiwa yaitu bercakap, kami diberi tugas untuk melakukan percakapan tiap kelompok yang terdiri atas tiga orang. Waktu itu dia sendiri yang menentukan kelompok terbaik, dan ia memilih kelompokku, saya sangat senang. Namun tidak sampai di situ, sebelum ia betul-betul menetapkan bahwa kelompok saya yang terbaik, ia meminta pendapat teman-temanku dulu. Setelah teman-temanku setuju bahwa memang penilaian Hosono Sensei sama dengan penilaian teman-temanku, barulah ia berani mengalungkan rangakaian origami bangau itu kepada kami bertiga, masing-masing satu rangkai. Bisa dibayangkan betapa susahnya membuat origami sebnayak itu. Begitulah wujud penghargaan yang tinggi di mataku, ketika ia bersusah payah melakukannya untuk sekedar membuat kami bangga.

Hosono sensei selalu berusaha membuat kami bisa belajar dengan benar dalam mempelajari budayanya. Bukan asal-asalan. Terbukti ketika kami belajar Kaiwa. Ia sangat menuntut kami bisa melafalkan kalimat demi kalimat dengan aksen yang benar. Meskipun sebenarnya di Jepang sendiri hal itu bukan masalah. Namun ia tetap berusaha untuk itu, bahkan saat ini ada kelas khusus mempelajari aksen Jepang.

Suatu kebanggan Jepang berhasil mencetak orang seperti Hosono Sensei ini, cerdas, menjunjung tinggi budayanya dan menghargai budaya orang lain. Saat ini saya sudah jarang menemukan orang Indonesia menggunakan peci hitam kebanggaan Soekarno, tapi malah orang lain yang menggunakannya dan mereka bangga akan hal itu. Saya tidak begitu yakin orang Indonesia bangga memperlihatkan identitasnya jika mereka keluar negeri, bahkan dengan bangganya mereka mengikuti budaya asing tanpa mengingat jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia.

Catatan:

Sensei = guru/dosen/sebutan untuk oarng yang berpendidikan

Nihonjin = orang Jepang

Gomennasai= tolong maafkan saya

Kaiwa = bercakap

Rabu, 02 April 2008

miki chan



Namanya Fumiko Furukawa, saya sangat senang bisa berkenalan dengannya, dia adalah teman pertamaku yang asli orang Jepang. Saya pertama kali melihatnya ketika ada lomba membaca tulisan Jepang yang diadakan oleh senior saya di Sastra Jepang UNHAS tepatnya di Biblioholic lantai 2, pada tanggal 25 agustus 2007, di sana ia sebagai juri, karena memang juri-jurinya orang asli Jepang.

Sayangnya saya belum sempat kenal satupun diantara mereka, padahal saya ingin sekali punya kenalan orang Jepang. Secara saya kan anak Sastra Jepang, lagipula siapa sih yang tidak mau punya teman orang asing?

Pada tanggal 2 desember 2007, Imelda Sensei datang ke kelas kami bersama Fumiko dan menyampaikan kalau kami kedatangan tamu dari Jepang dan dia akan homestay di rumah Chacha salah satu teman saya. Wah enaknya jadi Chacha, bisa belajar bahasa Jepang dan mempraktekkan langsung dengan orang Jepang, seandainya saya juga punya rumah di Makassar pasti saya yang akan berusaha agar Fumiko tinggal di rumahku saja, sayangnya saya cuma tinggal di pondokan, mana mau sensei membiarkan tamu yang jauh-jauh datang dari Jepang tinggal di pondokan yang semuanya serba terbatas, kasian kan orang Jepangnya.

Saatnya memperkenalkan diri, saat pertama kali Fumiko mengeluarkan kata sapaan, kami semua sempat tertawa karena suaranya sangat kecil, persis seperti pengisi suara di film kartun. Ternyata dia sudah bisa berbahasa Indonesia, walaupun tampak kesulitan mengucapkannya. Ia mengaku belum terlalu bisa berbahasa Indonesia padahal ia akan melakukan penelitian di Sinjai. Makanya ia harus belajar berbahasa Indonesia dulu di UNHAS selama dua bulan. Saya sangat senang mendengarnya, berarti agak lama ia akan tinggal di rumah Chacha. Pokoknya saya harus bisa berkenalan dengannya sebelum ia kembali lagi ke Jepang.

Akhirnya saya bisa juga berkenalan dengannya, bahkan saat ini kami sudah akrab. Itu karena saya pernah ikut nginap di rumah Chacha. Berawal dari sana, saya tukar-tukaran nomor handphone.

Bahkan ia hampir ikut bersama saya ke Sengkang saat liburan, sayangnya pada saat itu ia tidak sempat karena selama liburan ia harus mengerjakan berbagai tugas. Sebelumnya ia bertanya pada saya,

”Di Wajo ada apa?”

Tentu saja saya mengatakan ada banyak yang bisa ia kunjungi, salah satunya danau yang lumayan terkenal, danau tempe. Selain itu saya juga mengajaknya untuk melihat acara pernikahan adat bugis, ada sanak keluarga yang kebetulan mengadakan acara pernikahan, dia sangat tertarik, hanya saja ia tidak sempat.

Tiba saatnya Fumiko harus kembali ke Jepang, sebelum ia sempat berkunjung ke WAJO. Katanya ia akan ke Indonesia lagi pada bulan april, tapi mungkin ia akan langsung ke Sinjai, untuk melakukan penelitiannya itu.

Sedih deh.

Hari jumat, tepatnya tanggal 8 februari 2008 Fumiko meninggalkan kota Makassar menuju Bali, dan selanjutnya go to Japan.

Hiks..hiks...hiks...sedih sekali rasanya.

Fumiko chan seandainya kamu membaca tulisan ini, saya hanya mau kamu tahu bahwa I MISS YOU, Anata Ni Natsukashii Desu.


PERTEMUAN DEPAN REKTORAT TANPA BERKENALAN




29 januari 2008

Wez...mimpi apa aku semalam?

Hari ni ketemu Nihonjin alias orang Jepang, satu bis lagi!

Iseng-iseng cuma mau ngenet di depan Rektorat UNHAS, secara di sana kan ada hot spot

Wireless gitu, biar gratis ngenetnya, eh ketiban durian runtuh ketemu orang Jepang, bisa foto bareng lagi.

Walaupun dibilangi SKSD (sok kenal sok dekat) ama orang yang liatin kami histeris kayak ketemu artis idola, kami cuek aja.

Yang penting foto bareng ma mereka.

Saking senangnya, saya ma teman-teman tidak sempat nanyain nama mereka, karena mereka juga buru-buru.

Huh... but yang penting kami udah berani nyapa Nihonjin nya pakai Bahasa Jepang, walaupun dikit-dikit gitu...pokoknya senang deh...

Ganbatte Kudasai

がんばって ください