Hosono Sensei ala Soekarno
Kami mahasiswa sastra Jepang UNHAS sering memanggilnya Hosono Sensei. Kami pertama kali bertemu denannya pada saat pertemuan mata kuliah Bunpoo (baca:Bumpoo) yaitu Tata Bahasa Jepang di semester dua hari pertama, tanggal 4 januari 2008. Saat itu kami sangat senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan dosen dari negeri Sakura, walaupun sebenarnya sudah pernah ada beberapa dosen dari Jepang yang menjadi relawan mengajar di jurusan kami, namun tidak sempat mengajar kami dari angkatan 2007.
Hampir di semua mata kuliah jurusan ia masuk membantu dosen kami memberi materi, kecuali mata kuliah Kejepangan. Karena jadwalnya sangat padat. Hosono Sensei belum bisa berbahasa
Hosono Sensei sendiri bertempat tinggal di
Rasa senang kami tidak berlangsung lama saat diajar oleh dosen Nihonjin itu. Semenjak ia datang banyak perubahan dalam kelas kami. Sebenarnya hal itu adalah demi kebaikan kami, tapi kami hanya bisa mengambil sedikit dari kebaikan itu. Ia sangat tegas, disiplin, dan rajin. Dalam kelas kami harus duduk tegap, kaki tidak boleh menggantung, tangan kanan memegang pulpen, sedangkan tangan kiri di atas paha, atau bergantung, persis posisi duduk siap ala Pramuka. Hal itu membuat kami tidak nyaman, malah membuat punggung kami kesakitan. Ketika ia berbicara, tak satupun mata boleh melihat ke arah lain selain matanya. Hal itu tidak hanya berlaku untuk kami, dosen yang menemaninya pun harus memberi materi dengan tegap dan tegas. Ia selalu berjalan mengelilingi kami di kelas, sehingga kami harus selalu waspada ketika ia berjalan ke arah kami, maka kami akan saling menegur sebelum dia melihat posisi duduk kami yang tidak sesuai dengan keinginannya, karena akan berakibat fatal jika hal itu sampai terjadi, ia akan marah dan waktunya tidak satu atau dua menit tapi lima menit ke atas. Suasana kelas yang dulunya santai dan menyenangkan, kini menjadi, menegangkan bagi kami, namun dosen kami selau menghibur kami dengan mengatakan bahwa jangan terlalu dipikirkan, terima saja dan hargai sikap beliau, memang begitu karakter orang Jepang, nanti kami juga akan terbiasa.
Walaupun begitu, Hosono sensei bukan hanya merubah pola kebiasaan dalam kelas, tapi sistem belajar mengajar kami pun ikut berubah, pelajaran yang diberikan selalu diulang-ulang dan tak akan berpindah ke materi berikutnya sebelum kami menguasainya, tidak seperti dulu sebelum ia datang, dosen terlalu cepat membahas materi dan terlalu cepat pula pindah ke materi beikutnya. Hal ini yang membuat kami mulai kembali menyenanginya, terkadang ia menyanyikan kami lagu-lagu Jepang yang ada kaitannya dengan materi saat itu. Kelas seolah berubah menjadi kelas vokal.
Tak ada alasan untuk tidak menyukai Hosono sensei , kami bahkan kasihan dan sadar bahwa kami yang salah. Kami yang terlalu santai dan masih membawa karakter SMA kami di bangku kuliah. Pernah ia marah-marah dan berlangsung agak lama, ketika mata kuliah kanji tanggal 18 februari 2008, kami datang terlambat setelah itu Hososno sensei mendapati kami sedang asyik ngobrol ketika pelajaran berlangsung. Kami melihat kekecewaan di matanya, seperti ingin menangis. Kami serentak diam, malu telah memperlakukannya dengan tidak baik. Semestinya kami berterima kasih pada dia, jauh-jauh datang ke
Itulah Hosono Sensei, di mataku ia benar-benar perwakilan Bangsa Jepang yang menjunjung tinggi tata karma bangsanya, sangat sopan dan ramah. Ia sering memberikan kami penghargaan lewat pujiannya, bahkan pernah ia memberikan kami hadiah berupa origami bangau kecil yang dirangakai dengan benang panjang, ketika mata kuliah Kaiwa yaitu bercakap, kami diberi tugas untuk melakukan percakapan tiap kelompok yang terdiri atas tiga orang. Waktu itu dia sendiri yang menentukan kelompok terbaik, dan ia memilih kelompokku, saya sangat senang. Namun tidak sampai di situ, sebelum ia betul-betul menetapkan bahwa kelompok saya yang terbaik, ia meminta pendapat teman-temanku dulu. Setelah teman-temanku setuju bahwa memang penilaian Hosono Sensei sama dengan penilaian teman-temanku, barulah ia berani mengalungkan rangakaian origami bangau itu kepada kami bertiga, masing-masing satu rangkai. Bisa dibayangkan betapa susahnya membuat origami sebnayak itu. Begitulah wujud penghargaan yang tinggi di mataku, ketika ia bersusah payah melakukannya untuk sekedar membuat kami bangga.
Hosono sensei selalu berusaha membuat kami bisa belajar dengan benar dalam mempelajari budayanya. Bukan asal-asalan. Terbukti ketika kami belajar Kaiwa. Ia sangat menuntut kami bisa melafalkan kalimat demi kalimat dengan aksen yang benar. Meskipun sebenarnya di Jepang sendiri hal itu bukan masalah. Namun ia tetap berusaha untuk itu, bahkan saat ini ada kelas khusus mempelajari aksen Jepang.
Suatu kebanggan Jepang berhasil mencetak orang seperti Hosono Sensei ini, cerdas, menjunjung tinggi budayanya dan menghargai budaya orang lain. Saat ini saya sudah jarang menemukan orang
Catatan:
Sensei = guru/dosen/sebutan untuk oarng yang berpendidikan
Nihonjin = orang Jepang
Gomennasai= tolong maafkan saya
Kaiwa = bercakap
4 Komentar:
Sampaikan salam saya untuk Hosono Sensei jika bertemu. Saya dr. Hendra Gunawan, SpKK, PhD pernah bertemu dengan beliau di Nihonmatsu, Jepang sebelum beliau berangkat ke Indonesia. Pada saat itu saya mendapat tugas dari JICA menjadi native speaker untuk para Volunteer yang akan berangkat ke Indonesia.
Bolehkah saya mengetahui e-mail address beliau? Atas kebaikannya saya ucapkan terima kasih.
Senang sekali akhirnya ada yang mengomentari blog saya, apalagi seorang dokter. doumo arigatou gozaimashita. kemungkinan Hosono Sensei tak kembali lagi mengajar di Universitas kami. kalau alamat email yang beliau tinggalkan yaitu macotti@hotmail.co.jp
salam kenal yah...
dari makassar juga rupanya...
mampir yah di rumah persahabatanku
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda